problematika pendidikan islam
BAB I
PENGERTIAN
A.
PENGEMBANGAN DIRI
Jika menelaah literatur tentang teori-teori pendidikan,
khususnya psikologi pendidikan, istilah pengembangan diri disini tampaknya
dapat disepadankan dengan istilah pengembangan kepribadian, yang sudah lazim
digunakan dan banyak dikenal. Meski sebetulnya istilah diri (self) tidak
sepenuhnya identik dengan kepribadian (personality). Istilah diri dalam bahasa
psikologi disebut pula sebagai aku, ego atau self yang merupakan salah satu
aspek sekaligus inti dari kepribadian, yang di dalamnya meliputi segala
kepercayaan, sikap, perasaan, dan cita-cita, baik yang disadari atau pun yang
tidak disadari. Aku yang disadari oleh individu biasa disebut self picture
(gambaran diri), sedangkan aku yang tidak disadari disebut unconscious aspect
of the self (aku tak sadar).1) Menurut
Freud (Calvin S. Hall & Gardner Lindzey, 1993) ego atau diri merupakan
eksekutif kepribadian untuk mengontrol tindakan (perilaku) dengan mengikuti
prinsip kenyataan atau rasional, untuk membedakan antara hal-hal terdapat dalam
batin seseorang dengan hal-hal yang terdapat dalam dunia luar.
Setiap
orang memiliki kepercayaan, sikap, perasaan dan cita-cita akan dirinya, ada
yang realistis atau justru tidak realistis. Sejauh mana individu dapat memiliki
kepercayaan, sikap, perasaan dan cita-citanya akan berpengaruh terhadap
perkembangan kepribadiannya, terutama kesehatan mentalnya. Kepercayaan, sikap,
perasaan dan cita-cita akan seseorang akan dirinya secara tepat dan realistis
memungkinkan untuk memiliki kepribadian yang sehat. Namun, sebaliknya jika
tidak tepat dan tidak realistis boleh jadi akan menimbulkan pribadi yang
bermasalah.
Kepercayaan akan dirinya yang berlebihan (over confidence)
menyebabkan seseorang dapat bertindak kurang memperhatikan lingkungannya dan
cenderung melabrak norma dan etika standar yang berlaku, serta memandang sepele
orang lain. Selain itu, orang yang memiliki over confidence sering memiliki
sikap dan pemikiran yang over estimate terhadap sesuatu. Sebaliknya kepercayaan
diri yang kurang, dapat menyebabkan seseorang cenderung bertindak ragu-ragu,
rasa rendah diri dan tidak memiliki keberanian. Kepercayaan diri yang
berlebihan maupun kurang dapat menimbulkan kerugian tidak hanya bagi dirinya
namun juga bagi lingkungan sosialnya.
B. MUATAN LOKAL
Muatan Lokal merupakan kegiatan
kurikuler untuk mengembangkan kompetensi yang disesuaikan dengan ciri khas dan
potensi daerah, termasuk keunggulan daerah, yang materinya tidak dapat
dikelompokkan ke dalam mata pelajaran yang ada. Substansi mata pelajaran muatan
lokal ditentukan oleh satuan pendidikan, tidak terbatas pada mata pelajaran
keterampilan. Pengembangan Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar untuk mata
pelajaran Muatan Lokal bukanlah pekerjaan yang mudah, karena harus dipersiapkan
berbagai hal untuk dapat mengembangkan Mata Pelajaran Muatan Lokal.
Muatan lokal dimaksudkan untuk
mengembangkan potensi daerah sebagai bagian upaya peningkatan mutu kualitas
pendidikan di sekolah. Muatan lokal bisa berbentuk bahasa, baik bahasa daerah
maupun bahasa asing, keterampilan dalam bidang teknologi informasi, atau
keterampilan dalam bentuk tepat guna yang lain. Muatan lokal disajikan dalam
bentuk mata pelajaran yang harus dipelajari oleh setiap peserta didik, sehingga
harus memiliki kompetensi mata pelajaran, standar kompetensi dan kompetensi
dasar.2)
BAB II
PEMBAHASAN
A. PENGEMBANGAN DIRI DALAM KTSP
Dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan Indonesia,
pemerintah terus berupaya melakukan berbagai reformasi dalam bidang pendidikan,
diantaranya adalah dengan diluncurkannya Peraturan Mendiknas No. 22 tentang
Standar Isi untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah dan Peraturan Mendiknas
No. 23 tentang Standar Kompetensi Lulusan untuk Satuan Pendidikan Dasar dan
Menengah. Untuk mengatur pelaksanaan peraturan tersebut pemerintah mengeluarkan
pula Peraturan Mendiknas No 24 tahun 2006.
Dari ketiga peraturan tersebut memuat beberapa hal penting
diantaranya bahwa satuan pendidikan dasar dan menengah mengembangkan dan
menetapkan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah, yang
kemudian dipopulerkan dengan istilah KTSP. Di dalam KTSP, struktur kurikulum yang
dikembangkan mencakup tiga komponen yaitu: (1) Mata Pelajaran; (2) Muatan Lokal
dan (3) Pengembangan Diri.
Komponen Pengembangan Diri merupakan komponen yang relatif
baru dan berlaku untuk dikembangkan pada semua jenjang pendidikan. Sebagai
sesuatu yang dianggap baru, kehadirannya menarik untuk didiskusikan dan
diperdebatkan, Sejumlah pertanyaan banyak diajukan diantaranya saja : Apa
hakekat Pengembangan Diri itu ? dan Bagaimana pula pelaksanaan kegiatan
Pengembangan Diri di sekolah ?
Melalui tulisan ini akan dipaparkan secara teoritik tentang
hakekat pengembangan diri dan beberapa alternatif pemikiran tentang pelaksanaan
kegiatan pengembangan diri di sekolah, untuk dijadikan sebagai salah satu bahan
rujukan dalam kegiatan Pengembangan Diri di sekolah-sekolah, sehingga kegiatan
Pengembangan Diri di sekolah lebih dapat dipertanggungjawabkan.
1.
Hakekat Pengembangan Diri
Penggunaan istilah Pengembangan Diri dalam kebijakan
kurikulum memang relatif baru. Kehadirannya menarik untuk didiskusikan baik
secara konseptual maupun dalam prakteknya.
Setiap orang memiliki sikap dan perasaan tertentu terhadap
dirinya. Sikap akan diwujudkan dalam bentuk penerimaan atau penolakan akan
dirinya, sedangkan perasaan dinyatakan dalam bentuk rasa senang atau tidak
senang akan keadaan dirinya. Sikap terhadap dirinya berkaitan erat dengan
pembentukan harga diri (penilaian diri), yang menurut Maslow merupakan salah
satu jenis kebutuhan manusia yang amat penting. Sikap dan mencintai diri yang
berlebihan merupakan gejala ketidaksehatan mental, biasa disebut narcisisme.
Sebaliknya, orang yang membenci dirinya secara berlebihan dapat menimbulkan
masochisme.3)
Disamping itu, setiap orang pun memiliki cita-cita akan
dirinya. Cita-cita yang tidak realistis dan berlebihan, serta sangat sulit
untuk dicapai mungkin hanya akan berakhir dengan kegagalan yang pada akhirnya
dapat menimbulkan frustrasi, yang diwujudkan dalam bentuk perilaku salah-suai
(maladjusted). Sebaliknya, orang yang kurang memiliki cita-cita tidak akan
mendorong ke arah kemajuan.
Berkenaan dengan diri atau ego ini, John F. Pietrofesa
(1971) mengemukakan tiga komponen tentang diri, yaitu : (1) aku ideal (ego
ideal); (2) aku yang dilihat dirinya (self as seen by self); dan (3) aku yang
dilihat orang lain (self as seen by others). Dalam keadaan ideal ketiga aku ini
persis sama dan menunjukkan kepribadian yang sehat, sementara jika terjadi
perbedaan-perbedaan yang signifikan diantara ketiga aku tersebut merupakan
gambaran dari ketidakutuhan dan ketidaksehatan kepribadian.
Dengan memperhatikan dasar teoritik tersebut di atas, kita
bisa melihat arah dan hasil yang diharapkan dari kegiatan Pengembangan Diri di
sekolah yaitu terbentuknya keyakinan, sikap, perasaan dan cita-cita para
peserta didik yang realistis, sehingga peserta didik dapat memiliki kepribadian
yang sehat dan utuh.
2. Pelaksanaan Kegiatan Pengembangan Diri
Secara konseptual, dalam
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006 kita mendapati
rumusan tentang pengembangan diri, sebagai berikut :
Pengembangan diri bukan merupakan mata pelajaran yang harus
diasuh oleh guru. Pengembangan diri bertujuan memberikan kesempatan kepada
peserta didik untuk mengembangkan dan mengekspresikan diri sesuai dengan
kebutuhan, bakat, dan minat setiap peserta didik sesuai dengan kondisi sekolah.
Kegiatan pengembangan diri difasilitasi dan atau dibimbing oleh konselor, guru,
atau tenaga kependidikan yang dapat dilakukan dalam bentuk kegiatan
ekstrakurikuler. Kegiatan pengembangan diri dilakukan melalui kegiatan
pelayanan konseling yang berkenaan dengan masalah diri pribadi dan kehidupan
sosial, belajar, dan pengembangan karir peserta didik.
Berdasarkan rumusan di atas dapat diketahui
bahwa Pengembangan Diri bukan merupakan mata pelajaran yang harus diasuh oleh
guru. Dengan sendirinya, pelaksanaan kegiatan pengembangan diri jelas berbeda
dengan pelaksanaan kegiatan belajar mengajar mata pelajaran. Seperti pada
umumnya, kegiatan belajar mengajar untuk setiap mata pelajaran dilaksanakan
dengan lebih mengutamakan pada kegiatan tatap muka di kelas, sesuai dengan
alokasi waktu yang telah ditentukan berdasarkan kurikulum (pembelajaran
reguler), di bawah tanggung jawab guru yang berkelayakan dan memiliki
kompetensi di bidangnya. Walaupun untuk hal ini dimungkinkan dan bahkan sangat
disarankan untuk mengembangkan kegiatan pembelajaran di luar kelas guna
memperdalam materi dan kompetensi yang sedang dikaji dari setiap mata
pelajaran.
Sedangkan kegiatan pengembangan diri seyogyanya
lebih banyak dilakukan di luar jam reguler (jam efektif), melalui berbagai
jenis kegiatan pengembangan diri. Salah satunya dapat disalurkan melalui
berbagai kegiatan ekstra kurikuler yang disediakan sekolah, di bawah bimbingan
pembina ekstra kurikuler terkait, baik pembina dari unsur sekolah maupun luar
sekolah. Namun perlu diingat bahwa kegiatan ekstra kurikuler yang lazim
diselenggarakan di sekolah, seperti: pramuka, olah raga, kesenian, PMR,
kerohanian atau jenis-jenis ekstra kurikuler lainnya yang sudah terorganisir
dan melembaga bukanlah satu-satunya kegiatan untuk pengembangan diri.4)
Di bawah bimbingan guru maupun orang lain yang
memiliki kompetensi di bidangnya, kegiatan pengembangan diri dapat pula
dilakukan melalui kegiatan-kegiatan di luar jam efektif yang bersifat temporer,
seperti mengadakan diskusi kelompok, permainan kelompok, bimbingan kelompok,
dan kegiatan-kegiatan lainnya yang bersifat kelompok. Selain dilakukan melalui
kegiatan yang bersifat kelompok, kegiatan pengembangan diri dapat dilakukan
pula melalui kegiatan mandiri, misalnya seorang siswa diberi tugas untuk
mengkaji buku, mengunjungi nara
sumber atau mengunjungi suatu tempat tertentu untuk kepentingan pembelajaran
dan pengembangan diri siswa itu sendiri.
Selain kegiatan di luar kelas, dalam hal-hal
tertentu kegiatan pengembangan diri bisa saja dilakukan secara klasikal dalam
jam efektif, namun seyogyanya hal ini tidak dijadikan andalan, karena bagaimana
pun dalam pendekatan klasikal kesempatan siswa untuk dapat mengembangkan dan
mengekspresikan diri sesuai dengan kebutuhan, bakat, dan minatnya relatif
terbatasi. Hal ini tentu saja akan menjadi kurang relevan dengan tujuan dari
pengembangan diri itu sendiri sebagaimana tersurat dalam rumusan tentang
pengembangan diri di atas.
Dibandingkan dengan kurikulum sebelumnya, dalam
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan terjadi pengurangan jumlah jam efektif
setiap minggunya, namun dengan adanya pengembangan diri maka sebetulnya
aktivitas pembelajaran diri siswa tidaklah berkurang, siswa justru akan lebih
disibukkan lagi dengan berbagai kegiatan pengembangan diri yang memang lebih
bersifat ekspresif, tanpa “terkerangkeng” di dalam ruangan kelas.
Kegiatan pengembangan diri harus memperhatikan
prinsip keragaman individu. Secara psikologis, setiap siswa memiliki kebutuhan,
bakat dan minat serta karakateristik lainnya yang beragam. Oleh karena itu,
bentuk kegiatan pengembangan diri pun seyogyanya dapat menyediakan beragam
pilihan.
Hal yang fundamental dalam dalam kegiatan Pengembangan Diri
bahwa pelaksanaan pengembangan diri harus terlebih dahulu diawali dengan upaya
untuk mengidentifikasi kebutuhan, bakat dan minat, yang dapat dilakukan melalui
teknik tes (tes kecerdasan, tes bakat, tes minat dan sebagainya) maupun non tes
(skala sikap, inventori, observasi, studi dokumenter, wawancara dan
sebagainya).
Dalam hal ini, peranan bimbingan dan konseling
menjadi amat penting, melalui kegiatan aplikasi instrumentasi data dan himpunan
data, bimbingan dan konseling seyogyanya dapat menyediakan data yang memadai
tentang kebutuhan, bakat, minat serta karakteristik peserta didik lainnya. Data
tersebut menjadi bahan dasar untuk penyelenggaraan Pengembangan Diri di
sekolah, baik melalui kegiatan yang bersifat temporer, kegiatan ekstra
kurikuler, maupun melalui layanan bimbingan dan konseling itu sendiri.
Namun harus diperhatikan pula bahwa kegiatan Pengembangan
Diri tidak identik dengan Bimbingan dan Konseling. Bimbingan dan Konseling
tetap harus ditempatkan sebagai bagian integral dari sistem pendidikan di
sekolah dengan keunikan karakteristik pelayanannya.
Terkait dengan penyelenggaraan bimbingan dan
konseling di sekolah kemungkinan besar akan menggunakan konsep baru
menggantikan Pola 17 yang selama ini diterapkan. Ke depannya kemungkinan akan
digunakan konsep baru yang lebih dikenal sebutan imbingan dan Konseling
Komprehensif dan Pengembangan (Developmental and Comprehensive Guidance and
Counseling), dimana layanan Bimbingan dan Konseling lebih bersifat
menyeluruh (guidance for all) dan tidak lagi terfokus pada pendekatan
klinis (clinical atau therapeutical approach) akan tetapi lebih
mengutamakan pendekatan pengembangan (developmental approach). Dalam
hal ini, Sofyan S. Willis (2005) mengemukakan perbedaan dari kedua pendekatan
tersebut adalah
Pendekatan Pengembangan :
Bersifat
pedagogis
1
Melihat potensi klien
(siswa)
2
Berorientasi
pengembangan potensi positif klien (siswa)
3
Menggembirakan
klien (siswa)
4
Dialog
konselor menyentuh klien (siswa), klien (siswa) terbuka
5
Bersifat
humanistik- religius
6
Klien
(siswa) sebagai subyek memegang peranan, memutuskan tentang dirinya
7
Konselor
hanya membantu dan memberi alternatif-alternatif
Pendekatan Klinis (Model Lama):
Bersifat
klinis
1
Melihat
kelemahan klien
2
Berorientasi
pemecahan masalah klien (siswa)
3
Konselor
serius
4
Klien
(siswa) sering tertutup
5
Dialog
menekan perasaan klien
6
Klien
sebagai obyek
Dengan demikian, layanan Bimbingan dan Konseling yang memiliki
fungsi pengembangan, seperti layanan Pembelajaran, Penempatan dan Bimbingan
Kelompok kiranya perlu lebih dikedepankan dan ditingkatkan lagi dari segi
frekuensi maupun intensitas pelayanannya.
Dari
uraian di atas, tampak bahwa kegiatan pengembangan diri akan mencakup banyak
kegiatan sekaligus juga banyak melibatkan orang, oleh karena itu diperlukan
pengelolaan dan pengorganisasian tersendiri. Namun secara prinsip, bahwa
pengelolaan dan pengorganisasian pengembangan diri betul-betul diarahkan untuk
melayani seluruh siswa agar dapat mengembangkan dirinya secara optimal, sesuai
bakat, minat, dan kebutuhannya masing-masing dan pengembangan diri menjadi
wilayah garapan bersama antara komponen pembelajaran dan komponen Bimbingan dan
Konseling di sekolah dengan keunikan tugas dan tanggung jawabnya masing-masing.
B. Muatan Lokal
Dalam KTSP
Kebijakan Departemen Pendidikan
Nasional yang tertuang dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22
Tahun 2006 tentang Standar Isi untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah
menyatakan bahwa struktur kurikulum pada setiap satuan pendidikan
memuat tiga komponen, yaitu: mata pelajaran, muatan lokal, dan pengembangan
diri. dan Peraturan Mendiknas No. 23 tahun 2006 tentang Standar
Kompetensi Lulusan (SKL), serta Peraturan Mendiknas No. 24 tahun 2006 tentang
pelaksanaan Permen No. 22 dan 23, mulai tahun pelajaran 2006/2007 sekolah
diwajibkan menyusun kurikulumnya sendiri berupa Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan (KTSP) paling lambat tahun ajaran 2009/2010,. Bahkan tahun pelajran 2007/2008 ini
hampir semua sekolah berusaha menggunakan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan
(KTSP) yang mengacu pada Standar Isi yang disusun oleh Badan Standar Nasional
Pendidikan (BSNP), sekolah dapat mengadopsi atau mengadaptasi model KTSP
yang disusun oleh BSNP. Namun sejauh ini guru dan sekolah sebagai pelaksana
masih meraba-raba penerjemahan kurikulum tersebut. Mereka juga khawatir
kekurangan buku pegangan sebagai bahan ajar.
Pemberlakuan KTSP membawa implikasi
bagi sekolah dalam melaksanakan KBM sejumlah mata pelajaran, dimana hampir
semua mata pelajaran sudah memiliki Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar
untuk masing-masing pelajaran. Sedangkan untuk Mata Pelajaran Muatan Lokal yang
merupakan kegiatan kurikuler yang harus diajarkan di kelas tidak mempunyai
Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasarnya. Hal ini membuat kendala bagi
sekolah untuk menerapkan Mata Pelajaran Muatan Lokal.
Mata pelajaran muatan lokal bertujuan
untuk memberikan bekal pengetahuan, keterampilan dan perilaku kepada peserta
didik agar mereka memiliki wawasan yang mantap tentang keadaan lingkungan dan
kebutuhan masyarakat sesuai dengan nilai-nilai/aturan yang berlaku di daerahnya
dan mendukung kelangsungan pembangunan daerah serta pembangunan nasional. Lebih
jelas lagi agar siswa dapat:
1.
Mengenal dan menjadi lebih akrab dengan lingkungan alam,
sosial, dan budayanya,
2.
Memiliki bekal kemampuan dan keterampilan serta
pengetahuan mengenai daerahnya yang berguna bagi dirinya maupun lingkungan
masyarakat pada umumnya,
3.
Memiliki sikap dan perilaku yang selaras dengan
nilai-nilai/aturan-aturan yang berlaku di daerahnya, serta melestarikan dan
mengembangkan nilai-nilai luhur budaya setempat dalam rangka menunjang
pembangunan nasional.
Mata Pelajaran Muatan lokal
pengembangannya sepenuhnya ditangani oleh sekolah dan komite sekolah yang
membutuhkan penanganan secara profesional dalam merencanakan, mengelola, dan
melaksanakannya. Dengan demikian di samping mendukung pembangunan daerah dan
pembangunan nasional, perencanaan, pengelolaan, maupun pelaksanaan muatan lokal
memperhatikan keseimbangan dengan kurikulum tingkat satuan pendidikan.
Penanganan secara profesional muatan lokal merupakan tanggung jawab pemangku
kepentingan (stakeholders) yaitu sekolah dan komite sekolah. Untuk mengetahui muatan lokal yang ada pada
suatu daerah dapat dilakukan dengan mendata dan menelaah berbagai keadaan dan
kebutuhan daerah yang bersangkutan. Data
tersebut dapat diperoleh dari berbagai pihak yang terkait di daerah yang
bersangkutan seperti Pemda/Bappeda, Instansi vertikal terkait, Perguruan Tinggi,
dan dunia usaha/industri.
Muatan Lokal dapat ditinjau dari
potensi daerah yang bersangkutan yang meliputi aspek sosial, ekonomi, budaya,
dan kekayaan alam. Sekolah yang akan menerapkan muatan lokal dapat berkoordinasi
dengan instansi terkait yang ada dipemerintah daerah. Muatan lokal yang dapat
dikembangkan disesuaikan dengan situasi dan kondisi disekitar sekolah, koordinasi
dengan instansi terkait inilah yang dijadikan acuan untuk mengembangkan Standar
Kompetensi dan Kompetensi Dasar, Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP).Bila
Mata Pelajaran Muatan Lokal yang ada tidak layak lagi untuk diterapkan, maka
sekolah bisa menggunakan Mata Pelajaran Muatan Lokal yang ditawarkan oleh
Dinas atau mengembangkan muatan lokal sekolah yang ada disekitarnya.
BAB III
KONTRIBUSINYA UNTUK PENCAPAIAN KOMPETENSI
A Kontribusi Pengembangan Diri
Tidak
bisa dipungkiri lagi bahwa pengembangan diri sangat berperan dalam proses
perkembangan pendidikan kita, diantaranya:
- Pengembangan diri bukan sebagai mata pelajaran, mengandung arti
bahwa bentuk, rancangan, dan metode pengembangan diri tidak dilaksanakan
sebagai
sebuah adegan mengajar seperti layaknya pembelajaran bidang studi.
Namun, manakala masuk ke dalam pelayanan pengembangan minat dan bakat
tak dapat dihindari akan terkait dengan substansi bidang studi dan/atau bahan ajar yang relevan dengan bakatdan minat konseli dan disitu adegan pembelajaran akan terjadi. - Pelayanan pengembangan diri dalam bentuk ekstra kurikuler mengandung
arti bahwa di dalamnya akan terjadi diversifikasi program berbasis minat
dan bakat
yang memerlukan pelayanan pembina khusus sesuai dengan keahliannya.
Inipun berarti bahwa pelayanan pengem-bangan diri tidak semata-mata
tugas konselor, dan tidak semata-mata sebagai wilayah bimbingan dan
konseling. - Kedua hal di atas menunjukkan bahwa pengembangan diri bukan
substitusi atau
pengganti pelayanan bimbingan dan konseling, melainkan di dalamnya
mengandung sebagian saja dari pelayanan (dasar, responsif, perencanaan
individual) bimbingan dan konseling yang harus diperankan oleh konselor.
B. Kontribusi Muatan Lokal
Kontribusi muatan lokal bagi pencapaian kompetensi:
1 Peserta didik akan lebih mengenal dan menjadi
lebih akrab dengan lingkungan alam,
sosial, dan budayanya.
2 Peserta didik memiliki bekal kemampuan dan
keterampilan serta pengetahuan mengenai daerahnya yang berguna bagi dirinya
maupun lingkungan masyarakat pada umumnya.
3 Peserta didik memiliki sikap dan perilaku yang
selaras dengan nilai-nilai/aturan-aturan yang berlaku di daerahnya, serta
melestarikan dan mengembangkan nilai-nilai luhur budaya setempat dalam rangka
menunjang pembangunan nasional. Lokal
BAB IV
PENUTUP
Pengembangan Diri di sekolah
merupakan salah satu komponen penting dari struktur Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan yang diarahkan guna terbentuknya keyakinan, sikap, perasaan dan
cita-cita para peserta didik yang realistis, sehingga pada gilirannya dapat mengantarkan
peserta didik untuk memiliki kepribadian yang sehat dan utuh. Kegiatan
pengembangan diri dapat dilakukan secara klasikal pada jam efektif, namun
seyogyanya lebih banyak dilakukan di luar jam jam efektif, baik melalui
kegiatan yang dilembagakan maupun secara temporer, bersifat individual maupun
kelompok. Pengembangan diri harus memperhatikan
kebutuhan, bakat, dan minat setiap peserta didik dan bimbingan dan konseling di
sekolah memiliki peranan penting untuk mengidentifikasi kebutuhan, bakat, dan
minat setiap peserta didik melalui kegiatan aplikasi instrumentasi dan himpunan
data, untuk ditindaklanjuti dalam berbagai kegiatan pengembangan diri. Kegiatan
pengembangan diri akan melibatkan banyak kegiatan sekaligus juga banyak
melibatkan orang, oleh karena itu diperlukan pengelolaan dan pengorganisasian disesuaikan dengan kemampuan dan kondisi
nyata di sekolah.
DAFTAR PUSTAKA
1
Nana
Syaodih Sukmadinata. 2005. Landasan Psikologi Proses Pendidikan. Bandung : P.T. Remaja
Rosdakarya.
2
Prof.
Dr.H. Muhaimin. Dkk.2008, Pengembangan Model KTSP, jakarta : PTRaja Grafindo Persada.
3
Internet
Komentar
Posting Komentar